Law

Tanah Adat Menurut UUPA

22
×

Tanah Adat Menurut UUPA

Sebarkan artikel ini
tanah adat menurut uupa

Hak Atas Tanah Dalam Hukum Adat (HUKUM AGRARIA)  

24 September adalah salah satu tanggal bersejarah dalam sejarah perkembangan agraria / pertanahan di Indonesia pada umumnya dan dalam pembaharuan Hukum Agraria / Hukum Tanah Indonesia pada khususnya. Karena pada tanggal tersebut, 24 September 1960, Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno mensahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria yang dikenal dengan nama Undang Pokok Agraria (UUPA) yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 104 tahun 1960. (Harsono, 2008: 1) Karena dulu tanah memiliki daya tarik tersendiri dan selalu terkait dengan kekuasaan. Seorang raja yang Jaya atau makmur pada jaman dulu sudah siap dengan tanahnya yang luas kekuasaannya. Seorang bangsawan diberikan kaya jika ia memiliki tanah yang luas. Tanah menjadi target penguasaan sebuah resim atau dinasti yang berkuasa, perang selalu berakhir dengan hasil yang dikeluarkan pihak yang kalah memberikan tanah mereka kepada pihak yang menang. Pada abad modern, nilai tanah tersebut tidak berubah. Tanah tetap memiliki nilai yang sangat berharga karena mewakili kekayaan yang memiliki nilai investasi tetap akan terus naik. Pertambahan populasi menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi pertambahan nilai tanah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membutuhkan tanah, pembangunan yang terus berjalan dalam persaingan pasar global, kebutuhan akan infranstruktur yang membuat kebutuhan tanah. Nilai tanah akan terus naik selama manusia ada. Nilai tanah yang naik / tinggi.

Tanah Adat Menurut Undang – Undang Pokok Agraria Masyarakat Hukum adat mengakui juga keberadaan hak ulayat, wilayah hukum atau yang mewakili wewenang dan masyarakat hukum adat yang berkaitan dengan tanah yang diatur dalam lingkungan wilayahnya. Dalam sebuah buku yang diterbitkan Belanda, Ter Haar, Beginselen en stelsel van het adatrecht menambahkan masing-masing di Indonesia – masing-masing daerah memiliki nama – nama tertentu untuk lingkungan wilayahnya, misalnya nama untuk wilayah yang dituju, di Kalimantan disebut dengan nama pewatasan, di Jawa dikenal dengan nama wewengkon, di Bali dikenal dengan nama prabumian. Di Maluku pada umumnya tanah biasa disebut dengan nama petuanan. (Harsono, 2008: 185 – 186) Pemahaman dan pandangan masyarakat adat Maluku tentang tanah yang didukung dalam pemahaman Hukum Tanah Adat yang disetujui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sehingga hak-hak atas tanah adat dapat diperjuangkan melalui jalur hukum yang benar.  Hukum Adat tentang tanah memiliki kedudukan yang istimewa dalam UUPA, karena sebagian besar rakyat Indonesia menganut hukum adat sehingga hukum adat menjadi dasar pembuatan Hukum Tanah Nasional. Hukum tanah adalah suatu sistem dari cabang hukum yang mandiri yang membahas tentang suatu tanah, yang disebut hak – hak penguasaan atas tanah. Ketentuan – ketentuan hukum yang mengatur hak – hak penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. (Harsono, 2008: 17). Ketentuan – ketentuan yang mengatur tentang hukum adat menjadi dasar pembentuk. Santoso, Urip dalam tulisannya yang berjudul Hukum Agraria Dan Hak – Hak Atas Tanah mengemukakan Hukum Adat menjadi landasan utama dalam pembuatan Hukum Agraria Nasional dapat disimpulkan dalam Konsideran UUPA yang menyatakan; “Terkait dengan apa yang disebut dengan pertimbangan – pertimbangan perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasarkan hukum adat tentang tanah, yang sederhana, dan menjamim kepastian hukum untuk seluruh rakyat Indonesia dengan tidak ditolak – tidak ada yang bersandar pada hukum agama” (2010 : 5 – 6) Hal ini sejajar dengan apa yang ditulis oleh Supriadi, yang membuktikan diumumkan dengan menguraikan apa yang tertera penjelasan konsiderans dalamUUPA yang menjelaskan tentang hukum tanah nasional yang dibuat berdasarkan hukum adat. Pernyataan ini dapat ditemukan di antara yang lain di dalam; Sebuah. Penjelasan Umum angka III (1); b. Pasal 5 dan penjelasannnya. Dalam Penjelasan Umum angka III (1) UUPA menyatakan bahwa: Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru harus sesuai dengan kesadaran hukum rakyat. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar menyetujui hukum adat, maka hukum agraria baru ini akan berdasarkan pula pada ketentuan – ketentuan hukum adat sebagai hu`kum asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di negara yang modern dan sesuai dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme indonesia. Karena dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas dari kebijakan politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal. Sejalan dengan Penjelasan Umum angka III (1) UUPA di atas, dalam pasal 5 dinyatakan bahwa; Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, udara dan ruang angkasa atas hukum adat, lintas tidak sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia dan dengan peraturan-peraturan lainnya, semua informasi dengan mengindahkan tidak-tidak yang bersandar pada hukum agama. (2007: 52 – 53) Hukum adat yang menjadi sumber utama dalam pembuatan hukum tanah nasional, membuat segala sesuatu dari atas dasar hukum adat sebagai sumber pertama, hal ini ditegaskan oleh Budi Harsono dalam Supriadi, itu; Hukum Tanah baru yang dibuat dengan menggunakan bahan – bahan dari hukum adat, terdiri dari norma – norma hukum yang dituangkan dalam peraturan – undangan sebagai hukum yang ditandatangani, merupakan hukum tanah nasional positif yang tertulis. UUPA merupakan hasil yang pertama. Dalam penulisannya Supriadi memberi contoh dalam kasus yang menghubungkan komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individu, dengan hak – hak atas tanah yang melibatkan pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan. Ayat berikutnya (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut: “Seluruh bumi, udara dan ruang angkasa, terkait dengan alam yang terkandung di dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai penerima” Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, udara dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional ”. Selain menguraikan sifat komunalistik religius yang juga menyumbang konsep dalam hukum tanah nasional, Supriadi juga menggambarkan sejumlah asas- asas lain yang ada dalam asas hukum adat yang digunakan dalam hukum tanah nasional, adalah; asas religius (Pasal 1), asas kebangsaan (Pasal 1, 2, dan 9), asas demokrasi (Pasal 9), asas kemasyarakatan, pemerataan dan kesejahteraan sosial (Pasal 6, 7, 10, 11 dan 13), asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara perencanaan (Pasal 14 dan 15), serta asasosiasi horisontal.  Walalupun hukum adat menjadi sumber utama, tetapi dalam pengguraiannya Supriadi menjelaskan bahwa ada peluang atau mengeluarkan untuk lembaga-lembaga baru yang tidak mendukung dalam hukum adat untuk memperkaya dan memperkembangkan hukum tanah nasional, dengan ketentuan yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, salah satunya Pendaftaran Tanah. Pernyataan Supriadi ini tidak sesuai dengan Boedi Harsono, karena menurut Boedi Harsono masyarakat adat memiliki kearifan dan pengetahuan yang lengkap tentang batas-batas tanah, sehingga jika ada orang yang menggunakan lisensi hukum adat tentang tanah, masyarakat pun mencari. Namun Supriadi menjelaskan bahwa lembaga ini diperlukan dalam konsepsi hukum tanah nasional karena semua proses yang berkaitan dengan hak – hak atas tanah didaftarkan, dibukukkan dalam buku tanah dan kemudian diterbitkan sertifikat sebagai bukti pemilikan tanahnya.  Hal ini sangat perlu untuk menghindari konflik – konflik yang terjadi, seperti yang telah dikemukakan dalam pendahuluan. Seharusnya ada beberapa kasus yang terjadi karena klaim kepemilikan oleh dua pihak pada lahan (tanah) yang sama.                                      

Pengakuan Hak Ulayat Pada dasarnya, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) bumi dan udara dan kekayaan alam terkandung di dalam negeri yang dikuasai oleh negara dan digunakan untuk negara-negara besar. Pengakuan hak ulayat juga tercantum pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: Negara yang menerima dan menghargai masyarakat hukum adat bersama hak-hak tradisionalnya sepanjang kehidupan yang hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mengatur dalam undang-undang. Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( “UUPA”) mengatur bahwa hak Menguasai Dari Negara tersebut di differences pelaksanaannya DAPAT dikuasakan ditunjukan kepada daerah-Daerah Swatantra Masyarakat Dan-‘masyarakat hukum adat , sebagaimana diperlukan dan tidak disetujui dengan kepentingan nasional, sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Pengaturan inilah yang menjadi dasar bagi pengaturan tanah ulayat.

Definisi Hak Ulayat dan Tanah Ulayat Artikel terbaru Tanah Ulayat , tanah ulayat diartikan sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang dimiliki. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat . UUPA sendiri tidak menyetujui apa yang disetujui dengan tanah ulayat. Dalam Pasal 3 UUPA memang memuat istilah “ hak ulayat dan hak-hak yang mirip dengan itu ”. Dalam Penjelasan Pasal 3 UUPA tentang apa yang diusulkan dengan “hak ulayat dan hak-hak yang Terkait” adalah apa yang ada di perpustakaan hukum adat disebut ” beschikkingsrecht “. Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:

Dengan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang terkait dengan masyarakat hukum adat, sesuai dengan persetujuan masih ada , harus sesuai dengan sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang sesuai dengan persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diterima “ sepanjang persetujuan masih ada”.  Pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada di Kawasan Tertentu (“Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016”) hak ulayat atas tanah dikenal dengan istilah hak komunal atas tanah adalah hak milik bersama atas tanah masyarakat adat, atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada di dalam kawasan tertentu.  Kawasan tertentu adalah kawasan hutan atau perkebunan. Sementara yang diajukan dengan masyarakat hukum adat adalah kumpulan orang yang diundang oleh tatanan, hukum adatnya sebagai warga negara bersama dengan orang persekutuan, karena menyangkut tempat tinggal, atau pun berdasarkan dasar.

Ads Bimasakti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

materi kuliah tentang hukum perbankan
Law

sedang mencari materi kuliah hukum perbankan? ini dia pilihan tepat anda melihat tayangan ini dari pencarian saya sarankan untuk melihat dan cobalah !

hukum acara peradilan tun
Law

Yang menjadi subjek dalam pengadilan tata usaha negara ialah penggugat tergugat. objek ptun ialah penetapan yang tertulis oleh badan atau pejabat ptun