Berikut adalah sebagian kecil UU HKI di indonesia :
1. Hak Cipta dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Indonesia mengalami banyak perubahan dalam Undang-Undang mengenai Hak Cipta.
*UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta secara umum mengatur tentang:
a. Pelindungan Hak Cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang sejalan dengan penerapan aturan di berbagai negara sehingga jangka waktu pelindungan Hak Cipta di bidang tertentu diberlakukan selama hidup pencipta ditambah 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia.
b. Pelindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para Pencipta dan/atau Pemilik Hak Terkait, termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat).
c. Penyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase atau pengadilan, serta penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana.
d. Pengelola tempat perdagangan bertanggung jawab atas tempat penjualan dan/atau pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di pusat tempat perbelanjaan yang dikelolanya.
e. Hak Cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan objek jaminan fidusia.
f. Menteri diberi kewenangan untuk menghapus Ciptaan yang sudah dicatatkan, apabila Ciptaan tersebut melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
g. Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan atau Royalti.
h. Pencipta dan/atau pemilik Hak Terkait mendapat imbalan Royalti untuk Ciptaan atau produk Hak Terkait yang dibuat dalam hubungan dinas dan digunakan secara komersial.
i. Lembaga Manajemen Kolektif yang berfungsi menghimpun dan mengelola hak ekonomi Pencipta dan pemilik Hak Terkait wajib mengajukan permohonan izin operasional kepada Menteri.
j. Penggunaan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam sarana multimedia untuk merespon perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Sumber : https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-28-2014-hak-cipta
2. Merek memiliki beberapa fungsi dalam perdagangan yaitu untuk menunjukan asal barang pada konsumen, sebagai pembeda produk, serta penjamin kualitas produk dan promosi.[1] Dalam hal ini, dapat disadari bahwa merek memiliki peran yang besar bagi produsen dalam menjual produk-produknya ke konsumen karena merek menjadi identitas dari suatu produk. Selanjutnya, dalam hal menentukan merek yang akan digunakan, para pemilik merek memiliki kebebasaan dalam menentukan merek seperti apa yang mereka inginkan untuk menjadi identitas dari produk-produk mereka. Namun demikian, para pemilik merek dalam pembuatan mereknya harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek). Hal yang pertama harus diperhatikan oleh pemilik merek adalah ketentuan pada Pasal 1 ayat (1) UU Merek yang menjelaskan tentang definisi merek sebagai berikut:
“Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa”.
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa pemilik merek yang mereknya yang akan didaftarkan, pertama-tama harus memastikan mereknya tersebut termasuk dalam definisi merek di atas dan jika sudah memenuhi ketentuan di atas maka merek tersebut bisa didaftarkan ke Kantor Merek. Akan tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah apakah merek-merek yang telah memenuhi ketentuan Pasal 1 Ayat (1) UU Merek tetapi merupakan merek tidak senonoh dapat memperoleh pelindungan hukum berdasarkan UU Merek. Dalam hal ini, harus diperhatikan bahwa selain pada Pasal 1 Ayat (1) UU Merek, pemilik merek pun harus memperhatikan ketentuan pada Pasal 20 huruf (a) UU Merek yang mengatur sebagai berikut:
“Merek tidak dapat didaftar jika bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum”.
Sumber : https://ambadar.co.id/trademark/pelindungan-hukum-atas-merek-tidak-senonoh-berdasarkan-undang-undang-no-20-tahun-2016-tentang-merek-dan-indikasi-geografis/
3. Pelaksanaan Paten telah berlaku sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten. Namun memerlukan penyesuaian substansial terhadap perkembangan hukum di tingkat nasional maupun
internasional. UU Paten yang baru akan menyesuaikan dengan standar dalam Persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang selanjutnya disebut dengan persetujuan TRIPs. Untuk itulah Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten ditetapkan dan mengganti UU 14 tahun 2001 tentang Paten.
Revisi UU Paten dalam UU 13 tahun 2016 tentang Paten melalui pendekatan:
1. optimalisasi kehadiran negara dalam pelayanan terbaik pemerintah di bidang kekayaan intelektual;
2. keberpihakan pada kepentingan Indonesia tanpa melanggar prinsip-prinsip internasional;
3. mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik dengan mendorong Invensi nasional di bidang teknologi untuk mewujudkan penguatan teknologi; dan
4. membangun landasan Paten nasional melalui pendekatan sistemik realisme hukum pragmatis (pragmatic Legal Realism).
Pentingnya perubahan UU Paten dari UU 14 tahun 2001 tentang Paten menjadi UU 13 tahun 2014 tentang Paten adalah:
1. Penyesuaian dengan sistem otomatisasi administrasi kekayaan intelektual karena terkait dengan mekanisme pendaftaran Paten dapat diajukan secara elektronik;
2. Penyempurnaan ketentuan pemanfaatan Paten oleh Pemerintah;
3. Pengecualian atas tuntutan pidana dan perdata untuk impor paralel (parallel import) dan provisi bolar (bolar provision);
4. Invensi berupa penggunaan kedua dan selanjutnya (second use dan second medical use) atas Paten yang sudah habis masa pelindungan (public domain) tidak diperbolehkan;
5. Imbalan bagi peneliti Aparatur Sipil Negara sebagai inventor dalam hubungan dinas dari hasil komersialisasi Patennya;
6. Penyempurnaan ketentuan terkait Invensi baru dan langkah inventif untuk publikasi di Perguruan Tinggi atau lembaga ilmiah nasional;
7. Paten dapat dijadikan objek jaminan fidusia;
8. Menambah kewenangan Komisi Banding Paten untuk memeriksa permohonan koreksi atas deskripsi, klaim, atau gambar setelah Permohonan diberi paten dan penghapusan Paten yang sudah diberi;
9. Paten dapat dialihkan dengan cara wakaf.
10. Ketentuan tentang pengangkatan dan pemberhentian ahli oleh Menteri sebagai Pemeriksa;
11. Adanya mekanisme masa tenggang terkait pembayaran biaya tahunan atas Paten;.
12. Pengaturan mengenai force majeur dalam pemeriksaan administratif dan substantif Permohonan;
13. Pengaturan ekspor dan impor terkait Lisensi-wajib;
14. Terdapat mekanisme mediasi sebelum dilakukannya tuntutan pidana;
15. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada industri nasional untuk memanfaatkan Paten yang telah berakhir masa pelindungannya secara optimal dan lepas dari tuntutan hukum dan kewajiban membayar Royalti; dan
16. Pemberian Lisensi-wajib atas permintaan negara berkembang (developing country) atau negara belum berkembang (least developed country) yang membutuhkan produk farmasi yang diberi Paten di Indonesia untuk keperluan pengobatan penyakit yang sifatnya endemi, dan produk farmasi tersebut dimungkinkan diproduksi di Indonesia, untuk diekspor ke negara tersebut. Sebaliknya pemberian Lisensi-wajib untuk mengimpor pengadaan produk farmasi yang diberi Paten di Indonesia namun belum mungkin diproduksi di Indonesia untuk keperluan pengobatan penyakit yang sifatnya endemi.
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten disahkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 Agustus 2016 di Jakarta. UU 13/2016 tentang Paten diundangkan pada tanggal 26 Agustus 2016 oleh Menkumham Yasonna H. Laoly di Jakarta dan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176. Penjelasan UU 13/2016 tentnag Paten ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922, agar seluruh rakyat Indonesia mengetahuinya.
Sumber : https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-13-2016-paten
4. Desain Industri menurut UU No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri didefinisikan sebagai suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.
Berdasarkan Pasal 2 (1) dinyatakan bahwa Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru.
Lalu Berdasarkan Pasal 2 (2) dinyatakan bahwa Desain Industri dianggap baru apabila pada Tanggal Penerimaan, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.
Kemudian, berdasarkan Pasal 2 (3) pengertian mengenai pengungkapan sebelumnya adalah pengungkapan Desain Industri yang sebelum :
– tanggal penerimaan; atau
– tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.
– telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia.
Berdasarkan penjelasan pasal 2 (1) dan (2) terkadang dalam prakteknya banyak pengusaha yang melakukan promosi terlebih dahulu atas produknya kemudian menjual produknya ke pasaran sebelum Produk Desain Industrinya tersebut di daftarkan. Sehingga, pemeriksa Desain Industri dari Kantor HKI biasanya akan menemukan desainnya tersebut dan menyatakan bahwa desainnya tersebut sudah tidak memiliki kebaharuan karena sudah di jual terlebih dahulu sebelum di daftarkan. Oleh karena itu, para pengusaha yang akan memasarkan produk Desain Industrinya hendaknya terlebih dahulu untuk mendaftarkan Desain Industrinya tersebut sebelum mengkomersialkan produknya di pasaran.
Sumber : https://ambadar.co.id/knowledge-base/penjelasan-mengenai-desain-industri-di-indonesia/
5. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST) sebagai bagian dari sistem Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diperlukan sebab Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST) disahkan Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 20 Desember 2000 di Jakarta. UU 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diundangkan Sekretaris Negara Djohan Effendi pada tanggal 20 Desember 2000 di Jakarta.
Agar setiap orang mengetahuinya, UU 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 244 dan Penjelasan Atas UU 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046.
Untuk dapat melaksanakan pendaftaran Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, pada saat ini Pemerintah menunjuk Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia c.q. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk melakukan pelayanan di bidang Hak Kekayaan Intelektual. Mengingat cukup luasnya tugas dan tanggung jawab tersebut, tidak tertutup kemungkinan pada waktu yang akan datang, Direktorat Jenderal yang membidangi Hak Kekayaan Intelektual ini berkembang menjadi suatu badan lain yang bersifat mandiri di lingkungan Pemerintah, termasuk mandiri dalam pengelolaan keuangan.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu erat kaitannya dengankemampuan para peneliti dan pendesain, khususnya yang berkaitan dengan teknologi mutakhir. Sehingga negara perlu memberikan perlindungan hukum untuk menjamin hak dan kewajiban Pendesain serta menjaga agar pihak yang tidak berhak tidak menyalahgunakan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Oleh karena itu, ketentuan tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu disusun dalam Undang-Undang ini agar perlindungan hak atas Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat diberikan oleh negara apabila diminta melalui Permohonan oleh Pendesain atau badan hukum yang berhak atas Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Dalam kaitan dengan globalisasi perdagangan, Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Dalam hubungan dengan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Persetujuan TRIPs memuat syarat-syarat minimum pengaturan tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang selanjutnya dikembangkan sendiri oleh setiap negara anggota. Persetujuan TRIPs juga mengacu pada Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits (Washington Treaty).
Sumber : https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-32-2000-desain-tata-letak-sirkuit-terpadu
6. UU 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang disahkan Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 20 Desember 2000 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
diundangkan di Jakarta oleh Sekretaris Negara Djohan Effendi pada tanggal 20 Desember 2000. UU 30/2000 tentang Rahasia Dagang untuk memenuhi perlindungan hukum terhadap Rahasia Dagang sesuai dengan ketentuan dalam Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Ringhts (Persetujuan TRIPs), lampiran dari Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242. Penjelasan Atas Undang-Undang 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4044. Agar setiap orang mengetahuinya.
Dasar Hukum
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang adalah:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564).
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817).
Penjelasan umum UU Rahasia Dagang
Sebagai negara berkembang, Indonesia perlu mengupayakan adanya persaingan yang tangguh di kalangan dunia usaha. Hal itu sejalan dengan kondisi di bidang perdagangan dan investasi. Daya saing semacam itu telah lama dikenal dalam sistem Hak Kekayaan Intelektual, misalnya Paten. Dalam Paten, sebagai imbalan atas hak ekslusif yang diberikan oleh negara, penemu harus mengungkapkan temuan atau invensinya. Namun, tidak semua penemu atau kalangan pengusaha bersedia mengungkapkan temuan atau invensinya itu. Mereka ingin tetap menjaga
kerahasiaan karya intelektual mereka. Di Indonesia, masalah kerahasiaan itu terdapat di dalam beberapa aturan yang terpisah, yang belum merupakan satu sistem aturan terpadu.
Kebutuhan akan perlindungan hukum terhadap Rahasia Dagang sesuai pula dengan salah satu ketentuan dalam Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Ringhts (Persetujuan TRIPs) yang merupakan lampiran dari Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, Adanya perlindungan tersebut akan mendorong lahirnya temuan atau invensi baru yang meskipun diperlakukan sebagai rahasia, tetap mendapat perlindungan hukum, baik dalam rangka kepemilikan, pengusaan maupun pemanfaatannya oleh penemuanya.
Untuk mengelola administrasi Rahasia Dagang pada saat ini Pemerintah menunjuk Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia c.q. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk melakukan pelayanan di bidang Hak Kekayaan Intelektual. Mengingat cukup luasnya tugas dan tanggung jawab tersebut, tidak tertutup kemungkinan pada waktu yang akan datang, Direktorat Jenderal yang membidangi Hak Kekayaan Intelektual ini berkemang menjadi suatu badan lain yang bersifat mandiri dilingkungan Pemerintah, termasuk mandiri dalam pengelolaan keuangan.
Sumber : https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-30-2000-rahasia-dagang
7. UU No. 20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UUM) yang telah disahkan pada 25 November 2016, telah diundangkan pada tanggal 25 November 2016, dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252 (LN), yang disalin sesuai dengan aslinya oleh Kementerian Sekretaris Negara Republik Indonesia, Asisten Deputi Bidang Perekonomian, Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan, Lydia Silvanna Djaman. Penjelasan undang-undang itu juga telah dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953 (TLN), ternyata UUM yang telah dipublikasikan, diedarkan oleh pemerintah, dan berbagai media cetak serta media elektronik masih tertulis “Penjelasan atas Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.”
Seharusnya kata ‘rancangan’ itu dihapus jika telah disahkan menjadi undang-undang. Ketidakcermatan Tim Penyusun Rancangan UUM, dan
instansi terkait untuk melakukan penyisiran dan telaah ulang hasil pembahasan rancangan UUM yang telah disetujui DPR itu mengakibatkan UUM dapat dinyatakan tidak sah atau UUM itu tetap sah diberlakukan tanpa memiliki penjelasan, karena penjelasan undang-undang bukan dianggap sebagai bagian undang-undang tetapi hanya sebagai ‘keterangan’ yang tidak boleh memuat norma atau hukum lagi.
UUM tidak hanya telah tidak cermat disusun dan diumumkan dengan tetap mencantumkan kata ‘rancangan’ meski telah disetujui Presiden. Muatan pada UUM itu juga telah dimanfaatkan oleh ‘oknum panitera’ pengadilan niaga yang diduga melakukan ‘pemerasan’ terhadap para pencari keadilan di bidang merek yang mengajukan permohonan kasasi tanpa ada pengawasan dari MA. Oknum itu mengatakan jangka waktu permohonan kasasi berdasarkan hari kalender, bukan hari kerja yang jumlah harinya akan lebih banyak atau lebih lama karena Sabtu, Minggu, dan/atau hari libur nasional tidak dihitung.
Padahal Pasal 1 angka 22 UUM pada, Ketentuan Umum tentang Hari adalah Hari Kerja, dan pada Rancangan UUM tercantum cukup jelas. Entah siapa yang mengubah, dan mencantumkan pada “Rancangan Penjelasan UUM” pada Pasal 85, dan Pasal 88 ditulis menjadi “Hari Kalender?” Kontradiksi lain pada UUM ini adalah Pasal 100 ayat (3) yang mengatur sanksi pidana merek yang mengakibatkan gangguan kesehatan, lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia dengan sanksi pidana paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 miliar. Sanksi pidana itu tidak relevan diatur dalam UUM, karena UUM hanya memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang menggunakan merek palsu yang sama atau serupa secara tanpa hak dari pemilik merek sebenarnya. Selain itu, karena UUM dianggap bagian dari hukum privat atau hukum perdata maka sanksi pidananya pun bersifat delik aduan, sedangkan UU Kesehatan No. 36/2009, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32/2009, dan KUH Pidana merupakan hukum publik, dan sanksi pidananya bersifat delik biasa.
UU Kesehatan No. 36/2009 dengan sanksi pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar, dan sanksi pidana yang diatur pada UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32/2009 adalah dengan sanksi pidana paling singkat empat tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp4 milar dan paling banyak Rp12 miliar apabila perbuatan itu mengakibatkan orang luka dan/atau berbahaya bagi kesehatan manusia (Pasal 98 ayat ). Sedangkan sanksi pidana yang menimbulkan kematian telah diatur oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dengan sanksi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun apabila kematian itu karena pembunuhan berencana.
Sanksi Pidana Dengan memperhatikan hal-hal di atas, UUM tidak perlu mengatur sanksi pidana di luar kewenangannya, yang mengakibatkan timbul kontradiksi dan tidak berdaya guna. Disatu sisi menteri melakukan tugas teknis melakukan pengumuman permohonan merek (Pasal 15 ayat UUM), mengangkat para pemeriksa merek, dan anggota Komisi Banding Merek (Pasal 33 ayat ). Namun di sisi lain mereka juga memerintahkan menteri untuk mendaftarkan merek (Pasal 24 ayat juncto Pasal 30 ayat UUM) atau membatalkan merek. Padahal fungsi menteri seharusnya pembuat kebijakan sebagai pembantu presiden dan bukan diperintah oleh para pemeriksa merek, dan/atau Komisi Banding Merek yang merupakan aparat bawahannya.
Meski Pasal 23 ayat (5) UUM mengatur bahwa pemeriksaan permohonan merek diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 150 hari, dan Pasal 30 ayat (1) UUM mengatur bahwa Komisi Banding Merek akan memutuskan permohonan banding dalam waktu tiga bulan, tetapi pelaksanaan pasal itu diharapkan, karena faktor sumber daya manusia para pemeriksa merek, komisioner dan infrastruktur yang belum memadai. Hal-hal di atas baru sebagian saja dari UUM yang terlihat nyata tidak selaras dengan yang disyaratkan oleh UU No. 12/2011, bahkan bertentangan dengan undang-undang yang disebutkan di atas. Alhasil, UUM patut dinyatakan tidak sah, atau segera kembali direvisi.
Sumber : https://kabar24.bisnis.com/read/20181011/16/848173/opini-undang-undang-merek-no.-20-tahun-2016-tidak-sah