Meskipun belum signifikan tetapi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar berpotensi berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia.
Pelemahan nilai tukar terhadap dollar Amerika ini diyakini hanya bersifat sebagai temporer. Kendati begitu, pergerakan nilai tukar rupiah pada minggu ini, cukup mengejutkan banyak pihak. Berdasarkan kurs frekuensi Jakarta interbank spot dollar rate (JISDOR), untuk kali pertama sepanjang tahun ini, kurs rupiah berada pada level Rp.13.793.00. itu terjadi pada tanggal satu Maret yang kemudian direspon Bank Indonesia dengan mengeluarkan pernyataan agar pelaku pasar tetap tenang.
Kendati kenaikannya belum signifikan, tetapi harus diakui pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi berdampak negatif bagi perkekonomian Indonesia, apalagi sebagian besar utang luar negeri yang dilakukan pemerintah dan swasta dalam bentuk dollar AS. Berdasarkan data Bank Indonesia mayoritas utang luar negeri Indonesia berbentuk dollar AS. Kenaikan nilai tukar berarti akan meningkatkan jumlah nilai utang yang harus dibayarkan. Sebagai perbandingan, pada 2 Januari 2018, kurs rupiah terhadap dollar AS hanya sebesar Rp.13.542.00 per dollar AS. Sementara pada 2 Maret 2020 menjadi Rp.13.677.00 per dollar AS.
Relatif lebih rendah dari 1 Maret yang sempat berada pada level Rp.14.746.00 per dollar AS. Tetapi tetap saja terjadi peningkatan terhadap dana yang harus dikeluarkan kreditur dalam negeri. Terutama jika harus membayar dalam periode ini.”Memang ada tekanan besar, tetapi perkiraan kami tidak permanen,” terang Asisten Gubernur kepala Departemen kebijakan ekonomi moneter Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo.
Pelemahan nilai tukar rupiah yang cukup ekstrim ini bisa mempengaruhi daya beli dan sektor ril. Ini karena industri di tanah air belum bisa sepenuhnya terlepas dari impor. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor Indonesia per Januari 2020 mencapai US$15,13 miliar atau naik 0.26% dibanding Desember 2020, jika dibandingkan per Januari 2021 meningkat 26,44%.
Transaksi tersebut pasti akan mempergunakan nilai tukar yang diakui secara internasional dan dalam hal ini adalah dollar Amerika Serikat. Pelemahan nilai tukar rupiah ini akan menambah jumlah rupiah yang harus dikeluarkan importir. Untuk menutupi itu, importir kerap meningkatkan harga jual. Artinya menyebabkan inflasi dan mengurangi daya beli.
Bank indonesia selaku otoritas moneter berkewajiban menjaga agar nilai tukar rupiah tidak terus melemah. Tentunya dibutuhkan strategi khusus agar nilai tukar rupiah stabil dan cadangan devisa tidak tergerus akibat kebijakan BI dalam melakukan intervensi. Cadangan devisa yang dimiliki Indonesia sampai akhir 2019 mencapai US$132 miliar, jumlah yang tidak terlalu besar untuk membantu menguatkan nilai tukar tukar rupiah.
“Lebih efektif Bank Indonesia (BI) melakukan strategi yang pernah terjadi seperti pada September 2019, saat itu BI menghabiskan US$4 miliar untuk mempertahankan rupiah di level tertentu. Ini penting karena September merupakan triwulan terakhir dan berhasil”
Selain itu, tentu akan lebih baik jika BI dan stakeholders lainnya bersama-sama mensosialisasikan kepada masyarakat luas agar tidak panik dengan kenaikan dollar AS. Sebetulnya perlu pendekatan psikologis agar sama-sama bersikap sewajarnya terhadap kondisi temporer ini. Jika bisa yakinlah sesulit apapun kondisi perekonomian pasti bisa dilalui dengan positif. Mengingat berbagai macam pencapaian positif telah diperoleh Indonesia dalam beberapa babak tahun terakhir, antara lain dalam bidang ekonomi dan bidang sosial.
Nilai tukar rupiah di prediksi akan terus melemah sampai Maret tahun ini. Nilai tukar rupiah semakin terancam melemah dengan kebijakan moneter dari luar negeri Amerika Serikat yang ingin menaikkan suku bunga acuan. Per Jumat Februari 2020, nilai tukar rupiah berada di level Rp13.746 terhadap dolar. Awalnya suku bunga AS pada 2019 ada di kisaran 0-0,25 persen. Saat ini, sudah sampai di kisaran 1,25-1,5 persen.
Ini akan menguntungkan importir dari luar negeri karena mendapatkan barang yang sama dengan harga relatif murah, sekaligus menguntungkan juga untuk para eksportir Indonesia karena ada permintaan yang banyak sekali atau volume ekspornya meningkat sangat signifikan.
Namun di sisi lain, juga akan bisa mengancam laporan keuangan perdagangan di Indonesia, bahwa pelemahan rupiah tidak akan menguntungkan bagi eksportir atau produsen yang mengandalkan bahan baku/penolong dari importir. Karena biaya produksinya semakin meningkat dan harga jual produknya mau tidak mau semakin melonjak mahal.
Kalau sudah demikian, maka eksportir yang memproduksi barang-barang manufaktur berkebutuhan impor tinggi akan semakin tidak kompetitif. Di sisi lain, tingginya harga barang impor akan menyebabkan industri manufaktur semakin sulit berkembang. Sehingga ekspor manufaktur Indonesia bisa berpotensi mengalami kontraksi.
Padahal eksportir manufaktur ini yang mampu menjaga pengeluaran laporan keuangan perdagangan menjadi berkualitas. Mengapa? Karena apabila mengandalkan surplus saja dari laporan keuangan non-migas utamanya komoditas mentah hasil perkebunan seperti batubara atau CPO tadi, maka akan sewaktu-waktu bisa terpengaruhi oleh harga komoditas internasional yang berfluktuatif.
Ketika harga komoditas global tinggi, bisa meraup untung, dan sebaliknya. Artinya, kalaupun neraca perdagangan masih bisa mencatatkan surplus. Jika pelemahan nilai tukar rupiah ini terus berlanjut, maka akan berpotensi besar mengalami kerugian pengeluaran atau defisit.